Tentang Kami
I. BERDIRINYA RUMAH SUCI DAN SANGGAR SUCI
Rumah Suci (d/h Tong Siang Teng, 同善堂) di jalan Genteng Sayangan No. 29-31 Surabaya didirikan oleh alm. Yogi Pawitra (Sim Kong Siong, Ta Laoshe) pada tahun 1950. Beliau pula yang mendirikan Sanggar Suci (d/h Kwan Im Teng, 觀音堂 ) di Jl. Dr Wahidin No. 36-38 Lawang pada tahun 1953. Sejak saat itu, Rumah Suci ditetapkan sebagai vihara pusat untuk kegiatan ibadah, dan Sanggar Suci sebagai cabangnya.
Ta Laoshe adalah sebutan mulia untuk pembimbing rohani. Laoshe berarti guru / pembimbing / rohaniwan / biarawan. Sedangkan Ta berarti maha, jadi Ta Laoshe berarti Maha Pembimbing, dalam bahasa Jepang Ta Laoshe disebut Dai Roshi.
Sim Kong Siong, Ta Laoshe lahir di Pontianak, pada tanggal 15 Pebruari 1920, bersaudara laki-laki lima orang dan perempuan empat orang. Purna usia pada tanggal 10 Januari 1991 di Wat Leng Noi Yee (Dragon Lotus Monastery, 龍蓮寺), Yaowaraj Road, Bangkok, Thailand. Beliau tidak dimakamkan di Rumah Suci (pusat), Surabaya. Melainkan disemayamkan dalam stupa/pagoda di sisi utara Sanggar Suci (cabang), Lawang.
II. RIWAYAT HIDUP
A. KELUARGA DAN MASA KECILNYA
Ayah alm. Sim Ta Laoshe seorang pengusaha, seorang cendekiawan, lahir di Pontianak mendalami ajaran Nabi Khonghucu. Sebagai salah satu tokoh masyarakat, ia diangkat jadi Kapitan di jaman Belanda, mungkin juga karena lancar berbahasa Belanda, berbahasa Mandarin dan beberapa dialeknya. Ibunya seorang wanita biasa, ibu rumah tangga.
Seperti kebanyakan anak-anak, alm pada waktu kecilnya tidak terlihat sesuatu yang luar biasa, anak yang normal, hanya kesehatannya kurang baik. Bersekolah dan berada dikota kelahirannya sampai masa remaja. Waktu masih di Pontianak alm. pernah sakit keras dan tiduran terus di tempat tidur, pengobatan medis dan tradisional tidak bisa menyembuhkannya. Sampai suatu saat datang seorang nenek tua, yang masih sepupu kakeknya, melihat keadaan seperti itu, nenek tua ini mengajarkannya untuk berdoa memohon pada Dewi Kwan Im. Doa dan permohonan bisa dilakukan di tempat tidur. Asal pikiran ditujukan kepada Dewi Kwan Im, seraya memberikan tasbih (mala), ia mengajarkan untuk melafalkan 'Namo Kwan Shi Im Pho Sat” sebayak-bayaknya, dengan hati yang tulus. Karena ingin sembuh, alm. tekun melafalkan kapan saja, siang dan malam, sehingga sampai sebulan.
Pada suatu malam alm. bermimpi, dalam mimpinya jelas melihat seorang wanita yang sangat anggun, bergaun serba putih, datang melalui jendela kamar, membuka kelambu tempat tidurnya, mengibas-ibaskan kebut padanya beberapa kali, tanpa bicara, lalu melayang keluar melalui jendela dan menghilang.
Keesokan harinya, ketika bangun tidur, alm. merasa badannya ringan, nyaman, mencoba bangun, dan bisa turun dari ranjang, mencoba jalan masih tertatih-tatih, setelah itu berangsur-angsur sembuh. Namun kesehatannya belum membaik betul, selalu ada saja gangguan sakit, meskipun bukan jenis sakit yang fatal.
B. MASA REMAJA SAMPAI DEWASA
Karena ingin maju dan melihat dunia di luar Kalimantan, alm. meninggalkan Pontianak, menuju ke Jakarta, kemudian ke Semarang tinggal di rumah kakak perempuan tertuanya yang menikah dan menetap dengan pengusaha di Semarang, alm. masuk SMA sekolah Tionghoa “Hwa Ing” di jalan Pemuda. Namun kesehatannya terganggu, berhenti sekolah, lalu masuk sekolah lagi, demikian berkali-kali akhirnya berhenti sama sekali, hanya mengambil les. Sempat merantau ke ujung timur Jawa, ke Banyuwangi, menetap beberapa lama, pernah bekerja, akhirnya pindah ke Surabaya, periode mencari jati dirinya.
Masih sebagai seorang awam, alm. bekerja sama dengan saudara angkatnya, (alm.) S. Djohan, membuka toko kelontong/meracang di Genteng Besar, rupanya rejekinya baik, banyak pembeli, banyak pelanggan, toko laris, setelah sekian tahun, tabungannya lumayan. Waktu itu mendapat petunjuk dalam mimpi, “Tempuhlah jalan spiritual, jangan menikah, hindari makanan hewani, sucikan hati, dirikan tempat ibadah untuk diri sendiri dan untuk orang banyak, engkau akan sehat dan akan punya masa depan yang bagus.”
Mengikuti petunjuk dalam mimpi, dengan modal dari tabungan, mencari bangunan dalam kota Surabaya yang tidak di jalan raya, yang jauh dari keramaian, akhirnya menemukan dan membeli tanah dan bangunan lama di jalan Genteng Sayangan 29, dengan sedikit renovasi, tanpa bantuan keuangan dari orang tuanya yang mampu, bangunan tua ini dirubah menjadi tempat ibadah sederhana dalam gang untuk melatih diri, juga memberikan kesempatan pada teman-teman dan umat yang berkunjung untuk bersembahyang.
Bentuk bangunan tempat ibadah ini tampak seperti kuil, seperti klenteng pada umumnya, yang awalnya diberi nama Tong Siang Teng ( 同善堂 ), bertahan bertahun-tahun, sampai pada suatu saat adanya wahyu / petunjuk spiritual dari Dewa Hian Thian Siang Ti ( 玄天上帝) agar ganti nama, tulis Rumah Suci, cat merah, di atas kaca cermin. Inilah papan nama Vihara Rumah Suci hingga sekarang.
Sejak adanya tempat melatih batin, alm. makin tekun melakukan puja bhakti, membaca Kitab Suci yang dilafalkannya antara lain adalah Sutra Bunga Teratai (Lian Hua Ching) pada siang hari dan Sabda Sang Buddha Tentang Amitabha Sutra ( A Mi Duo Ching ) pada malam hari, juga Sutra Hati (Sin Ching) dan Maha Karunia Dharani (Ta Pei Cou).
Selain puja bhakti(doa), meditasi dengan metode Buddhisme dan Taoisme, serta terus mendalami Tripitaka (Kitab Suci Buddha) alm. sering memberikan petunjuk kepada siapa saja. Misalnya kepada mahasiswa, alm. memberi petunjuk untuk mengambil bidang atau jurusan, kota, perguruan tinggi yang cocok, apakah bisa berhasil atau tidak dan sebagainya.
Alm. juga memberi pengobatan, termasuk penyembuhan penderita yang sakitnya di luar logika medis dengan air suci, juga memberi petunjuk bidang usaha atau pekerjaan yang cocok, merukunkan pasangan suami-istri yang hampir cerai dan lain-lain. Alm. berprinsip membantu dan menolong sesama makhluk hidup tanpa membedakan suku, bangsa, kepercayaan, dan agama sebagai bagian dari praktik dharma. Asistennya yang cekatan adalah dr. Suranadi S, yang waktu itu masih kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, adik kanding (alm.) S. Djohan.
C. PENGENALAN ALAM DEWA
Harian Surabaya Pos pada kira-kira tahun 1958-an pernah memberitakan lengkap dengan foto, adanya seorang Suhu di jalan Genteng Sayangan, di depan sebuah klenteng, berjalan perlahan-lahan di atas bentangan api arang membara sepanjang 3 meter, bicara dalam bahasa mandarin kuno, tanpa alas kaki dan sama sekali tidak terbakar kakinya, juga tidak luka.
Suhu dalam berita di atas tidak lain adalah alm. Sim Ta Laoshe, yang fisiknya “dipinjam” oleh dewa, untuk memperlihatkan sesuatu ketrampilan spiritual di luar logika alam pikiran manusia, untuk menunjukkan bahwa alam dewa memang ada.
Ketrampilan spiritual lainnya yang alam dewa memperlihatkan dan yang belum pernah diberitakan antara lain, alm. berdiri di dua tumpukan api arang membara juga tanpa alas kaki, menghadap ke meja, memberikan petunjuk, nasihat dan wejangan pada umat yang datang memohon petunjuk atau berkah. Pada saat lain “mandi” minyak mendidih, caranya : mencelupkan handuk kering ke dalam satu drum minyak mendidih, mengkibas-kibaskan handuk ini ke badan sendiri, tanpa terluka. Umat pengunjung yang kena sedikit cipratan minyak, kulitnya melepuh.
Pada kesempatan lain, membantu umat dengan duduk di atas bangku paku-paku tajam, sambil loncat-loncat, celananya robek-robek, badannya tidak apa-apa. Pernah potong lidah sampai putus dengan pedang 7 bintang, potongan lidah ini ditaruh di lepek, masih bisa goyang-goyang sebentar mirip ekor cicak yang baru terputus, kemudian ditempelkan kembali dan menempel, dengan caranya minum sedikit air suci lebih dulu, tanpa perlu dijahit, setelah sadar, alm.masih merasakan lidahnya agak perih.
Satu perintah yang alm. mohon berulang-kali agar diperbolehkan untuk tidak dilaksanakan adalah perintah menaiki tangga yang terdiri dari 36 pedang yang harus diasah tajam-tajam oleh orang yang pantang makan makanan hewani dan pikiran bersih selama 3 hari mengasah pedang itu. Karena imaginasinya alm. merasa ngeri dan takut luar biasa, lalu mohon berulang-ulang baru diperbolehkan untuk tidak menjalankan pesan ini.
D. GURU PERTAMA
Alm. menempuh jalan spiritual bukan jalan sendiri tanpa guru, adapun guru spiritual pertamanya adalah alm. Liu Ta Laoshe dari Salatiga. Awalnya beliau datang ke Surabaya karena mendengar adanya seseorang yang tekun dan disiplin di bidang spiritual. Setelah keduanya bertemu, berdialog, meskipun alm. Sim Ta Laoshe lebih menguasai logat Tiociu, kurang mampu berlogat Hakka, bahasa daerah sang guru, rasanya terjalin “mind to mind seal”, batin kedua pihak saling menembus. Akhirnya terjadi ikatan guru-murid.
Seiring dengan berjalannya waktu dan saling berkunjung ke Surabaya dan Salatiga, alm. belajar banyak dalam hal samadhi, pembacaan dan pendalaman kitab suci, tata cara puja bhakti dan cara-cara mempersembahkan persembahan, soal perguruan, silsilah guru dan lain-lain.
E. SILSILAH GURU (LINEAGE OF GURUS)
Dari alm. Liu Ta Laoshe menyambung ke silsilah induk di Singapura, persisnya di Kwan Im Thong Hood Cho Temple ( 觀音堂佛祖廟) di Waterloo Street, dengan pengakuan dan kenaikan tingkat sampai ke posisi Ta Laoshe, tiap kalinya dengan upacara. Waktu itu kuil ini masih belum dipugar secara menyeluruh, masih bangunan lama. Di lantai dua kuil ini sekarang, terdapat foto-foto silsilah guru, hingga gurunya alm. Sim Ta Laoshe. Silsilah ini bila di telusuri terus ke atas, sampai pada Maha Bhikshu Hui Neng.
Namun silsilah paling awal sekali adalah dimulai dari Sang Buddha sendiri ke Yang Aria Maha Kasyapa, Patriak Pertama (初祖), kemudian menurunkan ke patriak ke 2, dan berlanjut turun-menurun sampai Yang Aria Bodhi Dharma, Patriak ke 28, kesemuanya 28 Patriak ini di India (Dikenal sebagai para patriak dari Barat)
Kemudian Yang Aria Bodhi Dharma (菩提達摩祖師) menyeberangi samudra ke daratan Tiongkok menyebarkan Dharma, dikenal sebagai Patriak Pertama di Timur (di Tiongkok), kembali berlanjut turun- temurun mengajarkan Dharma sampai Patriak ke 6 Mahayana dan Zen Buddhisme yakni Yang Aria Hui Neng (六祖慧能大師).
Yang Aria Hui Neng mengajarkan Dharma ke murid/bhikshu, juga menurunkan ke murid/biarawan jenis pertapa yang tidak mencukur gundul, baik murid praktisi pria maupun praktisi perempuan, semuanya mempertahankan rambut di kepalanya, mengenakan jubah hanya pada waktu upacara, tentang keharusan menjalankan aturan dan sila-sila sama dengan sila para bhikshu dan sesuai dengan tingkatnya/kesenioritas masing-masing.
Lalu silsilah ini, sub-sekte kelompok ini, menyebar ke selatan Tiongkok kemudian ke Bangkok, dari Bangkok ke Singapura dan saat ini Kuan Im Thong Hood Cho Temple di Waterloo Street menjadi pusat dari seluruh sekte ini di Asia, termasuk negara-negara Singapura, Malaysia, Thailand dan Indonesia.
F. HARI TUA
Pada hari tuanya alm. mengalami beberapa kali operasi, antara lain operasi katarak 2x di Singapura, kemudian operasi perut 2x di R.S. Dr Sutomo Surabaya, R.S Adi Husada Surabaya, melanjutkan pengobatan di Shanghai, membaik, kemudian kesehatan merosot, lalu ke Bangkok dirawat di R.S. St. Louis, hingga akhirnya purna usia di Wat Leng Nei Yee, Bangkok. Andaikan alm. tidak takut dan mau melaksanakan petunjuk spiritual/perintah terakhir untuk menaiki tangga pedang tajam dengan anak tangga sebanyak 36, mungkin hari tuanya tidak perlu mengalami operasi sampai beberapa kali. Namun umumnya petunjuk spiritual seperti ini, tidak ada pemberitahuan lebih dulu apa tujuan dan maksudnya.
Jasadnya disemayamkan di Wat ini beberapa hari, ada upacara dan doa, pembacaan kitab-kitab suci dipimpin oleh Maha Bhikshu Yen Teik (仁得大師), ketua Wat Bhoman, sesepuh seluruh sekte Mahayana di Thailand. Dengan upacara dan doa-doa jenasah baru diterbangkan lewat Jakarta ke Surabaya. Di Vihara Rumah Suci di lanjutkan dengan doa dan upacara, setelah beberapa hari di bawa ke Vihara Sanggar Suci Lawang, disemayamkan di suatu ruang sementara.
G. CETIYA PATIBHAGA
Menjelang akhir hidupnya alm. memberi pesan bahwa setelah purna usia alm. akan kembali ke alam manusia untuk menolong orang-orang yang menderita, untuk itu perlu didirikan bangunan stupa untuk meletakkan jasadnya dan alm. akan melaksanakan janjinya, maka dibangunlah stupa/pagoda di sisi utara Vihara Sanggar Suci, sebagai makam alm.
Pembangunan stupa membutuhkan waktu sekitar 8 bulan, dengan pimpinan proyek Ir. Jatikesumo S., geomancy/fengshui konsultan Simon Ong dari Semarang, Yang Aria Dagpo Lama Rinpoche, warga negara Perancis asal Tibet, memberi petunjuk yang berkaitan dengan keagamaan, pandita Khemawati memberikan nama pagoda CETIYA PATTIBHAGA. Dan Yang Aria Dagpo Lama Rinpoche mempersembahkan pula naskah kuno Sutra Hati dalam bahasa Tibet untuk disemayamkan di dalam stupa.
Ada seorang pengusaha terkenal, yang pasti di rumahnya tidak pernah mengepel, tetapi waktu pembersihan lantai pertama dalam stupa sebelum layon dimasukkan, ia sendiri turun tangan mengepel lantai, demi menyediakan untuk terakhir kalinya tempat istirahat sang guru yang benar-benat bersih dan bebas dari debu.
Sebelum pemindahan layon, ada upacara dan doa-doa cara silsilah perguruan ini sendiri dipimpin oleh Huang Ta Laoshe dari Thailand, hadir pula (alm.) Tjhe Kothai dari Bangkok, Khouw Kothai dari Singapura, (alm.) Yap Kothai dari Kuala Lumpur, Malaysia, serta sejumlah rohaniwati Thailand dan Singapura, diantaranya ada 7 orang yang bisa meramal berdasarkan data kelahiran. Umat yang datang dari pelbagai kota sampai berjumlah ratusan, juga hadir sejumlah warga dari Genteng Sayangan.
Yang Aria Bhikkhu Dharmmavicayo dengan dua Bhikkhu lainnya serta seorang dayakanya datang memimpin satu upacara, membacakan paritta-paritta. Hadir pula beberapa orang chai-kouw (rohaniwati) dari kuil Hok An Kiong, jalan Slompretan, Surabaya, juga beberapa orang chai-kouw dari tempat ibadah Pak Kik Bio, jalan Jagalan, Surabaya, yang masing-masing membacakan sutra-sutra lengkap diiringi dengan alat tabuh.
Upacara umum dengan doa-doa selama 3 hari, dilafalkan beberapa macam sutra, oleh 9 bhikshu dari Thailand, dipimpin oleh Maha Bhikshu Yen Teik, lengkap dengan 2 orang pemusik memainkan musik mengiringi pembacaan Sutra, sesudah pemindahan layon ke stupa.
Pada kesempatan yang jarang terjadi di Jawa Timur ini, diberikan kesempatan pada umat meletakkan 'papan' nama masing-masing yang berwarna merah untuk didoakan dan mendapat berkah bagi diri sendiri dan keluarga (延生碌位) serta doa untuk anggota keluarga yang sudah purna usia dengan 'papan' nama berwarna kuning (往生碌位) agar mendapat kelahiran kembali yang lebih baik.
Pada hari ke tiga, pada akhir upacara Maha Bhikshu Yen Teik memberikan inisiasi dan pemberkatan cara Tantrayana. Maha Bhikshu ini selain melatih diri dalam tradisi Mahayana juga Tantrayana, beliau menjabat semacam Sangharaja Mahayana di Thailand. Banyak umat termasuk umat keturunan India (warga Indonesia & warga Singapura) mengatakan selama upacara tidak ada perasaan duka, tetapi suasana khidmat, rasanya mengantarkan perjalanan seseorang yang suci ke alam bahagia.
MEMENUHI JANJI. Seorang umat di Surabaya (alm.) Handoyo G. pada waktu hidupnya pernah menjadi relawan memasakkan hidangan nabati untuk umat pengunjung dengan dibantu Suk Chen istrinya, pada HUT Vihara dan HUT Cai Shen Ye hingga beberapa tahun. Suatu hari ia jatuh sakit dan lumpuh, dalam proses perawatan, ia teringat janji alm. tentang akan kembalinya alm. Sim Ta Laoshe ke dunia menolong umat, lalu ia mengusahakan pergi ke Lawang, di Vihara Sanggar Suci, di depan stupa ia berlutut, menyalakan dupa, memohon agar ia sembuh bisa jalan kembali, kemudian satu tangan pegang tongkat, tangan yang lainnya berpegang pada istrinya, berjalan terseok-seok mengelilingi stupa dengan arah jarum jam sebanyak tiga kali, selesai mengelilingi stupa, berlutut memohon lagi.
Beberapa hari kemudian, ia benar-benar bisa berjalan tanpa gunakan tongkat meskipun pelan-pelan dan akhirnya sembuh bisa berjalan normal. Namun tangan kirinya tetap tidak bisa diangkat, barulah ia sadar waktu memohon agar kakinya sembuh, tidak mohon kesembuhan tangannya. Permohonan kesembuhan kaki terkabulkan tetapi ia tidak mohon kesembuhan tangannya, jadi tangannya tidak sembuh. Sampai akhir hidupnya ia tidak sempat lagi melaksanakan permohonan kesembuhan tangannya.
Kesembuhan lain adalah sebelum stupa di Lawang mulai dibangun, waktu masih belum 100 hari purna usia, di ruang keluarga di Vihara Rumah Suci, terdapat altar dengan foto almarhum dan ada doa setiap hari. Suatu pagi datang seorang wanita warga jalan Genteng Dalam, usia 40-an diantar ibu agus, penghuni rumah seberang Rumah Suci, setelah bu Agus memperkenalkan, wanita ini mengisahkan mimpinya. Ia menjelaskan selama tinggal di daerah Genteng, ia belum pernah masuk ke jalan Genteng Sayangan, bahwa dalam mimpinya ia berjalan di suatu tempat, di depan satu rumah ia berhenti dan melihat seorang laki-laki usia 70-an berkaca mata, ubanan, rambut tipis disisir ke belakang, berjalan keluar dari dalam rumah, dan mendatanginya, menyodorkan seekor ular padanya, dalam keadaan kaget dan takut, ia menangkis dengan tangan kanannya keatas. Ia terbangun, ternyata hanya mimpi, namun tangannya berada diatas kepala, padahal selama ini tidak bisa mengangkat tangannya. Lalu ia mencoba menggerakkan tangannya, ternyata bisa. Gembira sekali dan bersyukur ia kini sembuh, bisa bekerja lagi menerima cucian pakaian sebagai nafkah lagi. Selesai ia menceritakan, Willy Laoshe mengantarkannya ke altar, melihat foto alm. wanita ini terkejut dan bilang, “Bapak ini yang sembuhkan saya.” Seketika itu juga ia menangis, terharu.
III. UMAT
Tentang umat terdapat 2 macam :
- Umat vihara/Umat kuil (信徒)
- Umat Buddha/buddhis (皈依弟子)
A. UMAT VIHARA / UMAT KUIL
Umat yang berkunjung ke vihara/kuil untuk berdoa adalah umat umum yang bebas menjadi umat klenteng/kuil dan vihara manapun, tidak ada ikatan. Umat umum yang berdoa ke Vihara Rumah Suci jumlahnya mencapai maksimal setahun sekali pada HUT Rumah Suci bersamaan dengan HUT Yang Mulia Cai Shen Ye sampai ribuan orang pada beberapa tahun terakhir ini.
B. UMAT BUDDHA / BUDDHIS
Umat vihara/kuil/klenteng menjadi umat Buddha/buddhis, murid awam, bukan rohaniwan, setelah dipermandikan oleh seorang guru spiritual, baik oleh seorang Bhikkhu (cara Theravada) maupun oleh seorang Bhikshu (cara Mahayana) atau oleh seorang Lama/Geshe/Rinpoche (cara Tantrayana/Tibet) atau boleh juga oleh seorang Ta Laoshe (cara sekte yang dianut Vihara Rumah Suci). Dan boleh saja dipermandikan lagi oleh guru yang lain dari sekte yang berbeda. Setelah dipermandikan (kui-i, 皈依) dan menerima Pancasila, umat vihara menjadi umat Buddha/buddhis (bukan rohaniwan) disebut upasaka (男居士) bagi pria dan upasika (女居士) bagi wanita.
Sebelum menjadi murid awam, perlu mempelajari terlebih dahulu jatidiri, perbuatan, ucapan dan cara berpikir calon guru/pembimbing yang akan dipilih oleh umat. Setelah yakin bahwa calon gurunya dapat membimbing dan patut menjadi panutan umatnya, baru umat yang bersangkutan memohon dipermandikan.
Umat harus siap untuk :
A. Berlindung pada Tri Ratna ( Tiga Mustika), yakni :
- Buddha
- Dharma (ajaran Sang Buddha)
- Sangha (persaudaraan rohaniwan Buddha)
B. Berjanji akan taat melaksanakan Pancasila Agama Buddha:
- Tidak melakukan perbuatan pembunuhan
- Tidak melakukan pencurian
- Tidak berzinah
- Tidak berdusta
- Tidak mabuk-mabukan.
Atas permintaan umat, alm. juga mengadakan upacara mempermandikan umat untuk menjadi umat Buddha dan murid awamnya, termasuk kakak perempuannya yang tertua bersama ibu kandung Willy, dan Willy sendiri. Semuanya menjadi buddhis/umat Buddha/murid awam alm., sebelum ketiga-tiganya kemudian menjadi biarawati dan biarawan murid alm. Setelah dipermandikan, murid awam berlindung pada Sang Tri Ratna (Tiga Mustika: Buddha, Dharma dan Sangha), serta berjanji, berikrar menjalankan Pancasila. Dengan melaksanakan Pancasila dengan baik, seseorang umat menjamin dirinya sendiri untuk tidak sampai terlahir kembali di 3 macam alam bawah ( 1. neraka, 2. preta/alam kelaparan, 3. hewan ).
IV. KEPENDETAAN/BIARAWAN
Dengan menyadari akan kehidupan yang tidak langgeng dan ingin membebaskan diri dari proses kelahiran kembali yang berulang-ulang serta dengan hati yang welas asih ingin mengajak dan menolong umat menyadari dan membebaskan diri dari proses kelahiran kembali, umat awam (lay disciple) bisa memohon untuk ditasbihkan menjadi pendeta/rohaniwan, menjadi murid (disciple) dari pendeta guru pembimbingnya dan melatih diri lebih lanjut dan kemudian hari pada gilirannya menjadi guru pembimbing.
Alm. Sim Ta Laoshe juga melaksanakan kewajiban menerima dan mengangkat murid awam menjadi murid rohani (disciple/pendeta/biarawan), waktu itu masyarakat menggunakan istilah 'jalani'. Menjadi pendeta artinya harus menjalankan selain Pancasila, melaksanakan peraturan-peraturan lain, harus selebat (tidak menikah), makanannya non-hewani (vegetarian), puja/doa sehari lima kali, sewaktu tertentu latihan samadhi, Sila ke 5 Pancasila yakni tidak boleh mabuk-mabukan diperketat menjadi tidak meminum minuman beralkohol.
Murid alm. pernah sampai berjumlah 8 orang, termasuk dua orang kemenakannya. Namun kemudian satu per satu dalam kurun waktu beberapa tahun, lepas kembali menjadi orang awam, karena macam-macam penyebab. Saat ini, pendeta murid alm. tertinggal Willy Sim seorang yang masih tetap sebagai rohaniwan/biarawan di Vihara Rumah Suci, Surabaya. Ia satu-satunya putra adopsi yang sah, juga murid yang disebut room entering disciple, yang arti harafiahnya murid yang boleh masuk ke bilik guru, murid terdekat, asisten terdekat.
Semua pendeta/biarawan di Vihara Rumah Suci memiliki kesempatan mengambil janji lebih lanjut dan naik tingkat yang diadakan 3 tahun sekali di Kwan Im Thong Hood Cho Temple di Singapura, vihara induk. Dalam hal ini, selain alm. guru utama Willy, guru-guru lain adalah (alm.) Tan Tao Ngee, Ta Laoshe dari vihara induk ini, (alm.) Go Tao Hian, Ta Laoshe dari Malaysia.
Setelah alm. purna usia, untuk upacara bagi Willy Sim ke tingkat Laoshe dilaksanakan di vihara induk ini, lalu 3 tahun kemudian upacara terakhir untuk tingkat Ta Laoshe, seperti lazimnya juga dengan upacara 3 hari, bersama dengan kenaikan tingkat dan kehadiran rohaniwan, rohaniwati (biarawan, biarawati) dari vihara sesekte dari Singapura, Malaysia dan Thailand, dalam tradisi pertapa Chinese Mahayana (大乘稳士).
Guru-guru informal Willy Sim Laoshe lainnya adalah rahib/bhikkhu hutan (forest monks) dari aliran Theravada Thailand, antara lain alm. Luangphu *) Suan, alm. Luangphu Ken.
Tingkatan kesenioritas dalam hal spiritual bukan utama, yang penting adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Y.A. Sogyal Rinpoche, dalam kutipan berikut ini : “Seseorang mungkin memiliki karma untuk menemukan seorang guru, namun kemudian ia harus menciptakan karma untuk dapat mengikuti gurunya itu.” Dan kutipan lain “Memulai perjalanan spiritual adalah satu hal ; dan hal lain adalah menemukan kesabaran dan ketabahan, kebijaksanaan, keberanian dan kerendahan hati untuk mengikuti perjalanan itu sampai selesai.”
Setelah Sim Laoshe purna usia, tugas dan kewajiban dilanjutkan oleh Willy Sim Laoshe. Dengan lebih dulu menjalankan retreat di Ganden Ling Institut di Veneux-Les Sablons di Perancis tahun 1997 dan 1998, di bawah bimbingan Yang Aria Dagpo Lama Rinpoche, barulah Willy Sim Laoshe mempermandikan umat vihara menjadi umat Buddha/buddhis, menjadi upasaka dan upasika. Juga melaksanakan pentahbisan umat Buddha menjadi rohaniwan/biarawan, seorang perempuan bernama Lim En Ming menjadi rohaniwati/biarawati yang sekarang ini sebagai murid room entering disciple. Dan seorang mantan bhikshu di Bangkok, seorang upasaka di Tiongkok,serta seorang awam di Surabaya kelahiran Pontianak yang meninggal tahun lalu. Keempatnya menjadi biarawati dan biarawan.
*) Luangphu : Arti semula adalah kakek tua yang dihormati, disayang oleh sekeluarga, di Timur Laut Thailand dipakai sebagai istilah/sebutan kepada rahib hutan yang senior.
V. HARI-HARI BESAR
Hari-hari penting untuk doa di Vihara Rumah Suci cukup banyak, selain tanggal 1 dan 15 menurut almanak chandrasankala/imlek yakni hari pertama bulan terbit (dulu biasanya disebut ce-it) dan hari bulan purnama (cap-go), ada hari-hari besar upacara, terdapat daftarnya/tabelnya. Misalnya hari Trisuci Waisak, HUT Kwan Im Bodhisattva, HUT Nabi Laotze, HUT Nabi Khonghucu dan hari-hari besar lainnya.
Dari hari-hari besar ini, HUT Dewa Rejeki (Cai Shen Ye) bersamaan dengan HUT Vihara Rumah Suci yang paling banyak umatnya datang berdoa, yakni pada tanggal 26 bulan pertama almanak chandrasankala/almanak bulan/imlek.
Awalnya alm. Sim Ta Laoshe bercita-cita agar keadaan ekonomi para umat meningkat, bahasa rakyat kecilnya sandang pangan dan papan mencukupi, baru meningkatkan kondisi materi dan rohani lebih lanjut. Dan dengan wahyu petunjuk, dibuat arca/rupang besar Dewa Rejeki (Cai Shen Ya), selesai pembuatan diadakan upacara. Sejak itu umat yang datang pada HUT Cai Shen Ye jumlahnya meningkat tiap tahunnya.
Pengalaman umat yang bekerja keras, berdoa dengan tekun dan hidupnya sukses dapat memberikan inspirasi bagi orang lain. Dan doa khusuk pada hari besar memang memungkinkan memperoleh berkah yang kuat.
Ada seorang pengusaha asal Jawa Tengah yang memiliki tiga toko buah, memulai pekerjaan waktu mudanya sebagai karyawan toko, jujur dan rajin, tiap tahun khusus datang berdoa di Rumah Suci dengan sujud, menyalakan dupa dan lilin, mempersembahkan persembahan buah-buah, melaksanakan ini dengan hati tulus, ini ia jalankan bertahun-tahun, majikannya yang masih saudara sepupu, mengangkatnya menjadi orang kepercayaan. Gajinya meningkat sampai beberapa kali. Dan waktu berjalan terus, dari pengalaman bekerja sampai tahunan dan atas dorongan istri, ia ingin buka toko juga. Petunjuk dari alm. adalah ia bisa, ada rejeki di bidang bisnis. Mulailah ia merintis dengan membuka kios menjual buah-buahan, giat, usaha dan tekun berdoa, dengan adanya berkah, usahanya terus maju, sampai memiliki tiga toko. Ia tetap datang tiap tahun untuk berdoa dan sowan ke alm., dengan pesawat, tidak lagi naik kereta api. Dan menyampaikan kekhawatiran dalam hati kecilnya, bayangan tentang masa awal hidupnya yang minim, hidup serba tidak nyaman terjadi pada hari tuanya. Alm. mengingatkannya untuk menjaga hidupnya yang nyaman, harus selalu beramal, dan memberi nasihat. Adanya sandungan yang bisa menjatuhkannya yaitu : 1. judi dan 2. tidak setia pada istri, punya wanita piaraan. Suatu saat alm. pernah secara jenaka mengatakan perusahaan boleh dan bisa saja berkongsi, tetapi mana bisa berkongsi suami?
Lain halnya dengan seorang dokter di suatu kota di Jawa Timur yang praktek medisnya sukses. Dokter umum ini berpendapat bahwa profesi dokter adalah melayani dan mengusahakan kesembuhan, bukan mencari dan mengumpulkan uang atas penderitaan orang. Namun jika memikirkan biaya hidup yang makin mahal, biaya pendidikan anak-anak, uang pangkal dan uang bangku di SMA dan perguruan tinggi nantinya serta pentingnya tabungan pada hari tuanya, perlu solusi yaitu harus punya mata pencaharian lain, ia ingin berbisnis, karena bisnis adalah lahan dan kesempatan cari rejeki dan untung. Idenya buka supermarket yang pada waktu itu belum ada di kotanya. Petunjuk alm. adalah O.K. Sebelum itu setiap tahun dia pasti datang berdoa pada HUT Cai Shen Ye, pernah beberapa kali doa dari tengah malam sampai subuh. Akhirnya dia buka super market dan sukses.
Pada waktu dokter ini berkunjung dan sowan pada alm., alm. Sim Ta Laoshe mejelaskan tentang hubungan praktek dokter dengan praktek dharma. Bila tiap kali memeriksa pasien, mendiagnosa penyakit, menulis resep, pikiran dokter adalah semata-mata pada niat, pada keinginan sungguh-sungguh menyembuhkan pasien secepat mungkin, niat demikian adalah batin benih, batin penanam penyebab yang akan membuahkan akibat positif. Penghidupannya akan makin baik dan sukses, termasuk bidang medis dan super marketnya.
Dan terdapat ungkapan bijak dalam salah satu slip buku dharma penerbitan Vihara Rumah Suci yang lalu,
“ Waktu kaya, janganlah lupa pada hari-hari miskin;
ketika jaya, janganlah mentertawakan orang-orang yang kecewa.”
VI. KEPENGURUSAN
Alm. Sim Kong Siong, Ta Laoshe (alm. Yogi Pawitra) jauh hari sudah mendirikan Yayasan Sukhavati untuk menaungi dan mengelola dua tempat ibadah Vihara Rumah Suci, pusat, di Surabaya dan Vihara Sanggar Suci, cabang, di Lawang. Yayasan didirikan dengan Akta Notaris Wahyudi Suyanto S.H. pada tahun 1989 dan terdaftar di Pengadilan Negeri Surabaya.
Kata Sukhavati berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti Negeri Kebahagiaan Sempurna (Land of Ultimate Bliss), yaitu Nirvana (Surga) Sang Amitabha Buddha. Logo Yayasan Sukhavati dibuat dari bahasa/kaligrafi Gupta, India Kuno, inti tulisan HRIH, yang berarti lenyapnya segala beban pikiran, segala beban materi dan semua penderitaan, kebahagiaan yang sempurna.
Setelah alm. Sim Ta Laoshe purna usia, Willy Sim Laoshe melanjutkan tugas-tugas alm., mengurus hal-hal keagamaan dan umat, yayasan membantu mengurus hal-hal kemasyarakatan.
VII. KEGIATAN SOSIAL
Kegiatan sosial yang selama ini dilaksanakan dan sudah berjalan 30-an tahun adalah membagi beras pada warga jalan Genteng Sayangan, juga warga yang kurang mampu, pada panti asuhan, yatim piatu, anak cacat, orang tua/jompo, tanpa membedakan organisasi keagamaan, biasanya dilakukan pada bulan agustus setiap tahun sebelum atau sesudah Proklamasi Kemerdekaan. Membagikan sembako ke pasukan kuning dan penarik becak yang tua dengan system membagikan kupon terlebih dahulu, biasanya berjumlah 200 kupon minimal setahun dua kali, misalnya pada Hari Tri Suci Waisak, HUT Vihara Rumah Suci atau pada Hari Pahlawan.
Pembuatan paving jalan Genteng Sayangan pada lebih 40 tahun yang lalu, termasuk paving yang pertama kali di kota Surabaya. Dana utama dari tabungan untuk hari tua alm. Pendiri Rumah Suci. Kemudian perbaikan, perawatan pengecatan ulang beberapa kali dijalankan sesudah purna usia. Partisipasi lain pembuatan pintu gapura stainless jalan Genteng Sayangan.
Hal bantuan-bantuan pendidikan dengan cara langsung ke individu anggota keluarga umat yang kurang mampu, meskipun belum sistimatis, belum berkala.
Menerbitkan selain kitab-kitab suci (Sutra-sutra) juga menerbitkan dan menyiarkan penerbitan berkaitan dengan Dharma, secara cuma-cuma, mula-mula terbit setahun sekali sudah terbit belasan judul.
VIII. PESAN DAN HARAPAN
Berpegang teguh pada pesan alm. pendiri bahwa Vihara Rumah Suci adalah tempat kegiatan rohani, pertahankan misi luhurnya, jangan sampai menyimpang demi tujuan komersial dan tempat mencari keuntungan pribadi. Lestarikan agar selalu dapat mengayomi umatnya.
Pesan ayah alm. pada alm. adalah untuk selalu beramal, bentuk pelaksanaan prinsip ayah alm. bahwa langit, bumi dan manusia seharusnya menyatu, harmonis. Pada gilirannya alm. pesan pada umatnya juga harus senantiasa beramal, berdana. Umat yang menjalankan pesan alm. berbuat amal antara lain seorang yang sukses bisnisnya, sekarang ia aktif di yayasan sosial/keagamaan, meluangkan waktu, menyumbangkan pikiran, menurunkan dana membantu yayasan, seorang lagi membuka rekening khusus di bank untuk tabungan/dana sosial sewaktu-waktu diperlukan.
Sim Ta Laoshe alm. di alam lain tentu akan sangat senang melihat umatnya punya pikiran sosial yang demikian konstan. Harapan ke depan adalah umat-umat lain menyusul, mengikuti jejak ini. Beramal, berdana adalah bagian praktek Dharma, apalagi dengan niat yang tanpa pamrih, berdana demikian menjadi praktek Dharma murni, tidak terkontaminasi, akan memberikan kebahagiaan yang tidak mudah luntur. Dan bila pahala dan kebajikan luar biasa, yang diperoleh dari berdana murni ini, dilanjutkan dengan peningkatan pemahaman dan pelaksanaan Dharma lainnya, terutama purifikasi karma negatif dan akumulasi kebajikan akan membuahkan kebahagiaan bukan saja pada kehidupan sekarang tetapi juga pada kehidupan-kehidupan yang akan datang, pada akhirnya mencapai pembebasan dari tumimbal lahir, suatu keadaan kebahagiaan yang sejati.
Demikianlah yang diharapkan.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia
Disusun oleh :
Willy Sim, Laoshe